AIDS & HIV
(Acquired Immunodeficiency Syndrome atau
Acquired Immune Deficiency Syndrome & Human Immunodeficiency Virus)
Disusun oleh :
Nur Arniansyah
Pasaribu
- Pengertian
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome
(disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang
timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV;
atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV,
FIV, dan lain-lain).Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau
disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang
yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik
ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat
memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa
disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung
antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan
tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan
preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim
(vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang
terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui,
serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.
Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6
juta orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO
memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang
sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit
ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim
telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005
saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.[5] Sepertiga
dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat
pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana.
Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan
parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia
di semua negara.
Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila
dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman
sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau
sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS
(ODHA).
B. Penyebab ;
AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV.
HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem
kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dan sel
dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal
sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila
HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200
per mikroliter darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya
ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi
infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya
AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah
serta adanya infeksi tertentu.
Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya
perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan
rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan. Namun
demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi,
yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya,
diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi
kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi.Orang tua umumnya memiliki kekebalan
yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih berisiko
mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap
perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat
mempercepat perkembangan penyakit ini. Warisan genetik orang yang terinfeksi
juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap
beberapa varian HIV. HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk
yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang
berbeda-beda pula. Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat
memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu
kemampuan penderita bertahan hidup.
C. Penularan
Seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika
ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan
rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual
reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif
tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko
hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena
HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual
secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak
digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang
memudahkan transmisi HIV.
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan
HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat
adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang
terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi vaginal.
Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara
menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi
AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis
dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih
kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi
chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan
makrofaga.
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan
dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan
penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan
antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti
bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali
penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju
transmisi HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan
hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih
besar terhadap penyakit seksual.[38][39] Orang yang terinfeksi dengan HIV masih
dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.
D. Diagnosis
Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul
untuk pengawasan epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World
Health Organization tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, kedua sistem
tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk
penentuan tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif
ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem World Health Organization
untuk infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium;
sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi Centers for
Disease Control (CDC) Amerika Serikat
E. Pencegahan
Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh
ialah melalui hubungan seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau
jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama
periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan
pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat
catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian
risiko infeksinya secara umum dapat diabaikan
Dibeberapa kota besar pencegahan dan pengobatan dalam penanggulangan HIV/AIDS pada umumnya masih jauh dari harapan
penanggulangan HIV/AIDS, sehingga berdampak pada meningkatnya orang terinfeksi
dari tahun ke tahun, hal ini dapat kita ambil contoh Pada Tahun 1990 jumlah kumulatif secara nasional kasus aids terjadi 17 kasus, dan meningkat
sampai dengan bulan Juni
2011 secara kumulatif terjadi 26.483 kasus. Proporsi kumulatif kasus AIDS
tertinggi berada pada kelompok umur 20-29 (46,3%) diikuti dengan kelompok umur
30-39 tahun (31,4%) dan kelompok umur 40-49 tahun (9,7%). (laporan dari 300 kabupaten/kota dan
32 provinsi) http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.php?lang=id SUMBER : PP & PL KEMENKES RI.
Sedangkan kasus HIV/AIDS di Indonesia sudah lebih dari dua dekade akan tetapi
jumlah orang terinfeksinya terus meningkat. Kondisi tersebut disebabkan
pencegahan dan perawatan di Indonesia belum terintegrasi dengan baik, sebagai
contoh belum meratanya kapasitas lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam
melakukan pencegahan dan belum terciptanya layanan yang kompherensif dan
terintegrasi (IMS,VCT,CD4, ARV).
Melihat kondisi diatas dapat kita lihat beberapa hal yang
harus ditanggulangi bersama (1) status kualitas pencegahan dan pengobatan, (2) status
sistem penanggulangan HIV/AIDS, (3) status pengetahuan dan kesadaran
masyarakat, (4) status penataan institusi dan peraturan yang berhubungan dengan
penanggulangan HIV/AIDS.
Kondisi pertama : tentang status kualitas pencegahan dan
pengobatan, kedua
hal tersebut tidak dapat dipisahkan sebab pencegahan dan perawatan saling
berhubungan. Misalnya : pencegahan dampak buruk pada odha yang membutuhkan
perawatan
Kondisi kedua : tentang status sistem penanggulangan
HIV/AIDS, pada beberapa daerah belum terbangun sistem penanggulangan HIV/AIDS.
Pada kondisi tersebut pencegahan dan pengobatan pada
daerah yang belum memiliki sistem tersebut akan terjadi peningkatan kasus-kasus
baru HIV/AIDS di daerah tersebut, hal ini dikarenakan pemerintah daerah tidak
dapat memonitoring laju epidemi HIV/AIDS di daerah tersebut. Pada daerah yang
sudah mempunyai sistem penanggulangan HIV/AIDS juga masih banyak kekurangan
antar institusi terkait, hal ini dikarenakan kurang koordinasi diantara
institusi yang berhubungan dengan penanggulangan HIV/AIDS.
Kondisi ketiga : tentang status pengetahuan dan kesadaran
masyarakat. Masyarakat adalah bagian penting dan strategis dalam penanggulangan
HIV/AIDS di Indonesia. Karena masyarakat dapat menjadi objek sebagai dampak
HIV/AIDS sekaligus dapat menjadi subjek sebagai pelaku penanggulangan HIV/AIDS.
Sehubungan dengan peran masyarakat sebagai subjek status pengetahuan dan
kesadaran HIV/AIDS pada masyarakat perlu ditingkatkan.
Kondisi keempat : status penataan institusi dan
peraturan. Sejak Undang-Undang RI
No. 22, Tahun 1999, tentang Otonomi Daerah dilaksanakan pada bulanJanuari 2000,
pemerintahkota atau kabupaten mempunyai kewenangannya sendiridalam mengelola
sumberdaya yang ada di dalam wilayahnya dan juga untuk menatakelembagaannya.
Berhubungan dengan itu pemerintah kota dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS
membentuk instansi yang disebut Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang
bertanggung jawab secara teknis terhadap penanggulangan HIV/AIDS pada masing –
masing kota atau kabupaten. Namun instansi penanggulangan HIV/AIDS di pisahkan
dengan instansi Dinas Kesehatan, dimana pelayanan kesehatan masyarakat kota
atau kabupaten dikelola oleh Dinas Kesehatan setempat. Instansi lainnya yang
berkaitan dengan penanggulangan HIV/AIDS seperti Pariwisata, Keamanan daerah,
dll dikelola oleh masing – masing instansi.
Penataan institusi pemerintah dalam penanggulangan
HIV/AIDS masih ada kekurangan dalam implementasi dilapangan, dimana KPA sebagai
lembaga koordinasi belum dapat melakukan koordinasi dengan baik terhadap pihak
– pihak yang terkait dalam penanggulangan AIDS, padahal dampak penanggulangan
AIDS berhubungan erat pada kesehatan dan ekonomi masyarakat.
Sebenarnya dalam penanggulangan HIV/AIDS ini, berbagai
tindakan telah dilakukan oleh instansi teknis yang bertanggung jawab, namun
nampaknya hal itu tidak dilakukan secara komprehensif melainkan lebih pada
tindakan taktis untuk periode jangka pendek. Sebagai contoh, sepanjang yang
penulis ketahui belum ada peraturan (misalnya : peraturan daerah) yang telah
dibuat untuk penggunaan kondom pada semua pelanggan pekerja seks; yang ada
hanya anjuran penggunaan kondom pada pelanggan pekerja seks.
Untuk mengatasi dan memitigasi keadaan tersebut diatas,
apa tindakan strategis yang harus dilakukan? Berdasarkan kondisi diatas nampak
bahwa penanggulangan HIV/AIDS merupakan suatu prioritas untuk dilakukan dalam
upaya memitigasi dampaknya didaerah perkotaan dan kabupaten. Tujuan
penanggulangan HIV/AIDS ini adalah (1) menurunya prevalensi HIV/AIDS. (2)
Meningkatkannya kualitas hidup ODHA. (3) Menurunya Stigma dan
Diskriminasiterhadap ODHA
Untuk itu dalam konsep penanggulangan HIV/AIDS maka
beberapa tindakan strategis perlu dilakukan dengan mempertimbangkan Rumusan;
(1) karakteristik penularan HIV/AIDS pada daerah kota atau kabupaten; (2)
mengkombinasikan 2 konsep yaitu konsep pencegahan dan konsep perawatan bagi
orang terinfeksi HIV/AIDS.
Berikut ini, 4 rumusan tindakan strategis yang dapat
dilakukan guna meningkatkan penanggulangan HIV/AIDS di kota dan kabupaten :
Strategi 1 :
Menyediakan dan meningkatkan sitem penanggulangan HIV/AIDS. Sistem
penanggulangan HIV/AIDS sudah ada dibeberapa daerah dimana pencegahan dan
perawatan bagi orang terinfeksi dilengkapi dengan sistem itu. Namunsistem yang
ada belum terintegasi dengan baik dan tidak memiliki perawatan yang memadai.
Bahkan ada beberapa kota yang belum memiliki sistem penanggulangan HIV/AIDS
sama sekali. Oleh karena itu pencegahan dan perawatan dalam penanggulangan
HIV/AIDS adalah prioritas utama yang harus dilakukan. Secara teknis pemerintah
daerah harus menyediakan dan meningkatkan sistem penanggulangan HIV/AIDS
tersebut.
Strategi 2 : Menata
institusi teknis pemerintah dan membuat peraturan. Instansi yang bertanggung
jawab terhadap penyediaan dan peningkatan penanggulangan HIV/AIDS perlu
ditingkatkan dengan melibatkan dengan beberapa instansi lainnyadibawah
koordinasi kantor walikota. Oleh karena, secara subtansial penyediaan dan
peningkatan penanggulangan HIV/AIDS tidak dapat dipisahkan maka peran KPAP,
DINKES, dll hendaknya mepunyai komitment yang kuat dalam penanggulangan
HIV/AIDS pada masing – masing kota atau kabupaten. Disamping itu peraturan pada
tingkat peraturan daerah perlu diadakan sebagai instrumen dalam penanggulangan
HIV/AIDS.
Strategi 3 :
Meningkatkan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan aspek
yang potensial untuk menunjang penanggulangan HIV/AIDS, Oleh karena itu, sangat
penting pemerintah melakukan tindakan guna meningkatkan, memperbaiki dan
partisipasi kesadaran masyarakat. Tindakan yang dapat dilakukan berupa penyebaran
informasi, membuat program yang berhubungan dengan penanggulangan HIV/AIDS,
Peningkatan kapasitas bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat (Misalnya :
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat yang ada di tingkat kelurahan) untuk memberikan
informasi yang tepat tentang HIV/AIDS pada warga. Kegiatan seperti ini perlu
dilakukan guna mencegah infeksi baru pada masyarakat luas serta menurunkan
stigma dan diskriminasi pada odha.
Strategi 4 : Mencari
dana penunjang dari masyarakat dan swasta. Secara umum, sumber keuangan untuk
penanggulangan HIV/AIDS berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) atau Daerah (APBD). Sumber keuangan lain yang berpotensi sebagai
penunjang dapat berasal dari pihak masyarakat atau swasta. Hal ini dapat
dilakukan dengan pertimbangan bahwa penanggulangan HIV/AIDS melibatkan semua
pihak (Stakeholder) misalnya pihak yang menyediakan tempat hiburan malam (cafe,
lokalisasi, diskotik, dll) dan masyarakat. Dana dapat diperoleh dengan cara
membayar retribusi atau pajak bagi pihak-pihak yang menyediakan tempat hiburan
malam. Namun, semua tindakan tersebut harus dilakukan berdasarkan peraturan
resmi pemerintah.