heirovizackfar

heirovizackfar

Jumat, 11 Januari 2013

HIV/AIDS


AIDS & HIV
(Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome & Human Immunodeficiency Virus)




Disusun oleh :
Nur Arniansyah Pasaribu




  1. Pengertian
Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV; atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara. Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.[5] Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.
Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Kadang-kadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
     B. Penyebab ;
AIDS merupakan bentuk terparah atas akibat infeksi HIV. HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia, seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofaga, dan sel dendritik. HIV merusak sel T CD4+ secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya menyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter darah, maka kekebalan di tingkat sel akan hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut menjadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi tertentu.
Tanpa terapi antiretrovirus, rata-rata lamanya perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS ialah sembilan sampai sepuluh tahun, dan rata-rata waktu hidup setelah mengalami AIDS hanya sekitar 9,2 bulan. Namun demikian, laju perkembangan penyakit ini pada setiap orang sangat bervariasi, yaitu dari dua minggu sampai 20 tahun. Banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya ialah kekuatan tubuh untuk bertahan melawan HIV (seperti fungsi kekebalan tubuh) dari orang yang terinfeksi.Orang tua umumnya memiliki kekebalan yang lebih lemah daripada orang yang lebih muda, sehingga lebih berisiko mengalami perkembangan penyakit yang pesat. Akses yang kurang terhadap perawatan kesehatan dan adanya infeksi lainnya seperti tuberkulosis, juga dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. Warisan genetik orang yang terinfeksi juga memainkan peran penting. Sejumlah orang kebal secara alami terhadap beberapa varian HIV. HIV memiliki beberapa variasi genetik dan berbagai bentuk yang berbeda, yang akan menyebabkan laju perkembangan penyakit klinis yang berbeda-beda pula. Terapi antiretrovirus yang sangat aktif akan dapat memperpanjang rata-rata waktu berkembangannya AIDS, serta rata-rata waktu kemampuan penderita bertahan hidup.
C. Penularan Seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual.[38][39] Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.
D. Diagnosis
Sejak tanggal 5 Juni 1981, banyak definisi yang muncul untuk pengawasan epidemiologi AIDS, seperti definisi Bangui dan definisi World Health Organization tentang AIDS tahun 1994. Namun demikian, kedua sistem tersebut sebenarnya ditujukan untuk pemantauan epidemi dan bukan untuk penentuan tahapan klinis pasien, karena definisi yang digunakan tidak sensitif ataupun spesifik. Di negara-negara berkembang, sistem World Health Organization untuk infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium; sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat

        E. Pencegahan
Tiga jalur utama (rute) masuknya virus HIV ke dalam tubuh ialah melalui hubungan seksual, persentuhan (paparan) dengan cairan atau jaringan tubuh yang terinfeksi, serta dari ibu ke janin atau bayi selama periode sekitar kelahiran (periode perinatal). Walaupun HIV dapat ditemukan pada air liur, air mata dan urin orang yang terinfeksi, namun tidak terdapat catatan kasus infeksi dikarenakan cairan-cairan tersebut, dengan demikian risiko infeksinya secara umum dapat diabaikan
Dibeberapa kota besar pencegahan dan pengobatan dalam penanggulangan HIV/AIDS pada umumnya masih jauh dari harapan penanggulangan HIV/AIDS, sehingga berdampak pada meningkatnya orang terinfeksi dari tahun ke tahun, hal ini dapat kita ambil contoh Pada Tahun 1990 jumlah kumulatif secara nasional kasus aids terjadi 17 kasus, dan meningkat sampai dengan bulan Juni 2011 secara kumulatif terjadi 26.483 kasus. Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi berada pada kelompok umur 20-29 (46,3%) diikuti dengan kelompok umur 30-39 tahun (31,4%) dan kelompok umur 40-49 tahun (9,7%). (laporan dari 300 kabupaten/kota dan 32 provinsi) http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.php?lang=id SUMBER : PP & PL KEMENKES RI. Sedangkan kasus HIV/AIDS di Indonesia sudah lebih dari dua dekade akan tetapi jumlah orang terinfeksinya terus meningkat. Kondisi tersebut disebabkan pencegahan dan perawatan di Indonesia belum terintegrasi dengan baik, sebagai contoh belum meratanya kapasitas lembaga-lembaga swadaya masyarakat dalam melakukan pencegahan dan belum terciptanya layanan yang kompherensif dan terintegrasi (IMS,VCT,CD4, ARV).
Melihat kondisi diatas dapat kita lihat beberapa hal yang harus ditanggulangi bersama (1) status kualitas pencegahan dan pengobatan, (2) status sistem penanggulangan HIV/AIDS, (3) status pengetahuan dan kesadaran masyarakat, (4) status penataan institusi dan peraturan yang berhubungan dengan penanggulangan HIV/AIDS.
Kondisi pertama : tentang status kualitas pencegahan dan pengobatan, kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan sebab pencegahan dan perawatan saling berhubungan. Misalnya : pencegahan dampak buruk pada odha yang membutuhkan perawatan
Kondisi kedua : tentang status sistem penanggulangan HIV/AIDS, pada beberapa daerah belum terbangun sistem penanggulangan HIV/AIDS. Pada kondisi tersebut pencegahan dan pengobatan pada daerah yang belum memiliki sistem tersebut akan terjadi peningkatan kasus-kasus baru HIV/AIDS di daerah tersebut, hal ini dikarenakan pemerintah daerah tidak dapat memonitoring laju epidemi HIV/AIDS di daerah tersebut. Pada daerah yang sudah mempunyai sistem penanggulangan HIV/AIDS juga masih banyak kekurangan antar institusi terkait, hal ini dikarenakan kurang koordinasi diantara institusi yang berhubungan dengan penanggulangan HIV/AIDS.
Kondisi ketiga : tentang status pengetahuan dan kesadaran masyarakat. Masyarakat adalah bagian penting dan strategis dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Karena masyarakat dapat menjadi objek sebagai dampak HIV/AIDS sekaligus dapat menjadi subjek sebagai pelaku penanggulangan HIV/AIDS. Sehubungan dengan peran masyarakat sebagai subjek status pengetahuan dan kesadaran HIV/AIDS pada masyarakat perlu ditingkatkan.
Kondisi keempat : status penataan institusi dan peraturan. Sejak Undang-Undang RI No. 22, Tahun 1999, tentang Otonomi Daerah dilaksanakan pada bulanJanuari 2000, pemerintahkota atau kabupaten mempunyai kewenangannya sendiridalam mengelola sumberdaya yang ada di dalam wilayahnya dan juga untuk menatakelembagaannya. Berhubungan dengan itu pemerintah kota dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS membentuk instansi yang disebut Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang bertanggung jawab secara teknis terhadap penanggulangan HIV/AIDS pada masing – masing kota atau kabupaten. Namun instansi penanggulangan HIV/AIDS di pisahkan dengan instansi Dinas Kesehatan, dimana pelayanan kesehatan masyarakat kota atau kabupaten dikelola oleh Dinas Kesehatan setempat. Instansi lainnya yang berkaitan dengan penanggulangan HIV/AIDS seperti Pariwisata, Keamanan daerah, dll dikelola oleh masing – masing instansi.
Penataan institusi pemerintah dalam penanggulangan HIV/AIDS masih ada kekurangan dalam implementasi dilapangan, dimana KPA sebagai lembaga koordinasi belum dapat melakukan koordinasi dengan baik terhadap pihak – pihak yang terkait dalam penanggulangan AIDS, padahal dampak penanggulangan AIDS berhubungan erat pada kesehatan dan ekonomi masyarakat.
Sebenarnya dalam penanggulangan HIV/AIDS ini, berbagai tindakan telah dilakukan oleh instansi teknis yang bertanggung jawab, namun nampaknya hal itu tidak dilakukan secara komprehensif melainkan lebih pada tindakan taktis untuk periode jangka pendek. Sebagai contoh, sepanjang yang penulis ketahui belum ada peraturan (misalnya : peraturan daerah) yang telah dibuat untuk penggunaan kondom pada semua pelanggan pekerja seks; yang ada hanya anjuran penggunaan kondom pada pelanggan pekerja seks.
Untuk mengatasi dan memitigasi keadaan tersebut diatas, apa tindakan strategis yang harus dilakukan? Berdasarkan kondisi diatas nampak bahwa penanggulangan HIV/AIDS merupakan suatu prioritas untuk dilakukan dalam upaya memitigasi dampaknya didaerah perkotaan dan kabupaten. Tujuan penanggulangan HIV/AIDS ini adalah (1) menurunya prevalensi HIV/AIDS. (2) Meningkatkannya kualitas hidup ODHA. (3) Menurunya Stigma dan Diskriminasiterhadap ODHA
Untuk itu dalam konsep penanggulangan HIV/AIDS maka beberapa tindakan strategis perlu dilakukan dengan mempertimbangkan Rumusan; (1) karakteristik penularan HIV/AIDS pada daerah kota atau kabupaten; (2) mengkombinasikan 2 konsep yaitu konsep pencegahan dan konsep perawatan bagi orang terinfeksi HIV/AIDS.
Berikut ini, 4 rumusan tindakan strategis yang dapat dilakukan guna meningkatkan penanggulangan HIV/AIDS di kota dan kabupaten :
Strategi 1 : Menyediakan dan meningkatkan sitem penanggulangan HIV/AIDS. Sistem penanggulangan HIV/AIDS sudah ada dibeberapa daerah dimana pencegahan dan perawatan bagi orang terinfeksi dilengkapi dengan sistem itu. Namunsistem yang ada belum terintegasi dengan baik dan tidak memiliki perawatan yang memadai. Bahkan ada beberapa kota yang belum memiliki sistem penanggulangan HIV/AIDS sama sekali. Oleh karena itu pencegahan dan perawatan dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah prioritas utama yang harus dilakukan. Secara teknis pemerintah daerah harus menyediakan dan meningkatkan sistem penanggulangan HIV/AIDS tersebut.
Strategi 2 : Menata institusi teknis pemerintah dan membuat peraturan. Instansi yang bertanggung jawab terhadap penyediaan dan peningkatan penanggulangan HIV/AIDS perlu ditingkatkan dengan melibatkan dengan beberapa instansi lainnyadibawah koordinasi kantor walikota. Oleh karena, secara subtansial penyediaan dan peningkatan penanggulangan HIV/AIDS tidak dapat dipisahkan maka peran KPAP, DINKES, dll hendaknya mepunyai komitment yang kuat dalam penanggulangan HIV/AIDS pada masing – masing kota atau kabupaten. Disamping itu peraturan pada tingkat peraturan daerah perlu diadakan sebagai instrumen dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Strategi 3 : Meningkatkan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan aspek yang potensial untuk menunjang penanggulangan HIV/AIDS, Oleh karena itu, sangat penting pemerintah melakukan tindakan guna meningkatkan, memperbaiki dan partisipasi kesadaran masyarakat. Tindakan yang dapat dilakukan berupa penyebaran informasi, membuat program yang berhubungan dengan penanggulangan HIV/AIDS, Peningkatan kapasitas bagi lembaga-lembaga swadaya masyarakat (Misalnya : Lembaga Pemberdayaan Masyarakat yang ada di tingkat kelurahan) untuk memberikan informasi yang tepat tentang HIV/AIDS pada warga. Kegiatan seperti ini perlu dilakukan guna mencegah infeksi baru pada masyarakat luas serta menurunkan stigma dan diskriminasi pada odha.
Strategi 4 : Mencari dana penunjang dari masyarakat dan swasta. Secara umum, sumber keuangan untuk penanggulangan HIV/AIDS berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Daerah (APBD). Sumber keuangan lain yang berpotensi sebagai penunjang dapat berasal dari pihak masyarakat atau swasta. Hal ini dapat dilakukan dengan pertimbangan bahwa penanggulangan HIV/AIDS melibatkan semua pihak (Stakeholder) misalnya pihak yang menyediakan tempat hiburan malam (cafe, lokalisasi, diskotik, dll) dan masyarakat. Dana dapat diperoleh dengan cara membayar retribusi atau pajak bagi pihak-pihak yang menyediakan tempat hiburan malam. Namun, semua tindakan tersebut harus dilakukan berdasarkan peraturan resmi pemerintah.